Kamis, 05 Juli 2012

George Orwell - 1984








There will be no loyalty, except the loyalty to the Party
There will be no love, except for love for Big Brother
There will be no laughter, except the laugh of triumph over the defeated enemy
If you want the picture of the future, imagine of boot, stamping on the human face

Forever…

(1984, George Orwell)


Pada tahun 1984, Winston Smith hidup di salah satu bagian kota London di Oceania. Sekitar tahun-tahun itu juga, dunia telah terbagi menjadi hanya 3 negara-negara totalitarian yang kuat yaitu Oceania, Eurasia, serta Eastasia. Di Oceania sendiri terdapat satu Partai yang berkuasa yang dipimpin oleh sang Bung Besar yang kemudian mengontrol segala tingkah laku bahkan pikiran-pikiran masyarakatnya. Partai memiliki 4 kementerian besar yang mengatur berbagai aktivitas pikiran manusia tersebut, yaitu Ministry of TruthMinistry of Love, Ministry of Peace, dan Ministry of Plenty. Yang dalam bahasa Oceania, Newspeak, disebut Minitrue, Miniluv, Minipax, dan Miniplenty.


Winston yang merasa muak dengan semua ini, kemudian bergabung dengan Persaudaraan di bawah pimpinan Emmanuel Goldstein, suatu gerakan bawah tanah untuk menggulingkan rezim totalitarian, yang menginginkan adanya perdamaian, mengutuk kediktatoran Partai, memperjuangkan kebebasan berbicara, pers, berserikat, berpikir, yang menurut Partai hal ini merupakan penghinaan. Di mana slogan Partai sendiri adalah War is Peace, Freedom is Slavery, Ignorance is Strength. Yang intinya: Partai mencintai perang, membenci perdamaian, dan menjunjung tinggi kebodohan (!!!).

Winston kemudian bertemu Julia, jatuh cinta padanya serta menjalin hubungan asmara secara sembunyi-sembunyi karena hal tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran besar yang termasuk dalam kejahatan pikiran. Keduanya, yang sama-sama membenci sang Bung Besar, dijebak dan dikirim ke Kementerian Cinta Kasih, yang ternyata adalah pusat rehabilitasi kejahatan yang melibatkan kejahatan pikiran (thought crime).

Mengerikan ya?!

Buku ini menggambarkan apa yang akan terjadi jika dunia dimenangkan oleh masyarakat totalitarianisme[1], suatu gambaran suram yang sulit dibayangkan. Benar-benar menjelaskan dunia dengan sistem patriarkhi, penuh maskulinitas.

George Orwell, nama samaran dari Eric Arthur Blair (1903-1950), adalah seorang penulis Inggris, di mana karya-karyanya yang brilian dipengaruhi oleh kesadaran politik yang tercipta atas kondisi sosial politik di masa-nya. Dilatarbelakangi oleh Perang Dunia ke-1, Perang Dunia Ke-2, Perang Spanyol, pemikiran Karl Marx tentang “Revolusi Proletar”, penemuan televisi di tahun 1930-an, kekuatan Cina yang besar serta mengancam, dsb, Orwell menulis Nineteen Eighty-Four (1949) sebagai respon terhadap hal tersebut, terutama terhadap tindakan opresif Uni Soviet ketika berada di bawah pimpinan Stalin.

Orwell lahir di Motihari, India, namun menyelesaikan sekolahnya di Eton College, Inggris. Dia mengabdi pada Indian Imperial Police di Burma (sekarang bernama Myanmar) pada 1922, dan kemudian kembali ke tanah airnya pada 1927. Dalam kondisi kesehatannya yang buruk serta usaha kerasnya untuk menjadi penulis, Blair a.k.a Orwell hidup dalam kemiskinan selama bertahun-tahun di Paris, dan kemudian ia memutuskan pindah ke London. Dari pengalamannya ini, terbitlah buku pertamanya yang diberi judul, Down and Out in Paris and London (1933), yang merupakan catatan mengenai kondisi yang buruk kaum gelandangan yang miskin.Burmese Days (1934), sebuah tuduhan mengenai imperialisme, secara garis besar juga merupakan autobiografinya.

Pada tahun 1936, Orwell bergabung dalam pasukan Republikan dalam Perang Sipil di Spanyol (1936-1939). Gambaran dari pengalamannya ini, terdapat dalam Homage to Catalonia (1938), merupakan sesuatu yang paling menyentuh di antara beberapa gambaran tentang perang tersebut yang pernah ditulis. Pada periode itu juga, Orwell menulis The Road to Wigan Pier(1937), karya mengenai betapa mengerikannya kondisi para pekerja tambang di Inggris Utara.

Ketika Orwell memutuskan untuk berhenti dari posisinya di Burma, dia berketetapan akan selalu menyuarakan ketidaksetujuannya atas dominasi seseorang terhadap yang lain. Kebenciannya terhadap masyarakat totalitarian terekspresikan secara brillian dalam fabel alegori Animal Farm (1945) dan dalam novel satire Nineteen Eighty-four (1949).

Pada tahun 1950, Orwell meninggal akibat Tuberculosis.

Nineteen Eighty-four, yang diterbitkan pada tahun 1949—tujuh bulan sebelum Orwell meninggal dunia—dan ber-setting pada masa 36 tahun ke depan, menggambarkan gelapnya bayangan Orwell akan masa depan. Buku yang ditulis ketika Orwell sedang sekarat yang mendasarkan pada karya penulis Rusia, Yevgeny Zamyatin, merupakan gambaran yang mengerikan tentang bagaimana kekuatan suatu negara dapat mendominasi kehidupan seorang individu melalui indoktrinasi budaya. Setiap gerak masing-masing warga dipelajari, setiap kata-kata disadap, dan pemikiran dikendalikan.

Sebagai science fiction novel yang memiliki pengaruh kuat di abad ke-20—karena gambaran kengerian dan peringatannya yang masuk akal tentang kediktatoran, baik kanan maupun kiri—, satire yang memprediksikan kehancuran ini (apocalyptic satire) menunjukkan keadaan yang suram ketika bagaimana orang-orang bernama Winston Smith dicuci otak, dan “diciptakan ulang” melalui gambar-gambar propaganda oleh Partai, sampai pada titik dia tidak hanya mematuhi sang BUNG BESAR, tetapi bahkan mencintainya. Novel 1984 ini menyajikan gambaran yang gelap mengenai hidup yang terus menerus berada dalam pengamatan sang BUNG BESAR yang misterius tersebut.

Orwell mengatakan bahwa buku itu ditulis dengan maksud yang secara eksplisit terlihat, yaitu “to alter other people’s idea of the kind of society they should strive after.” Hingga buku ini, terlepas dari kritik-kritik terhadapnya, menjadi karya paling penting Orwell, dan mengantarnya pada puncak kemahsyuran.

Buku ini sulit diungkapkan dengan kata-kata. Gambarannya benar-benar suram. Itu mungkin yang akan terjadi kalau manusia hanya mementingkan diri sendiri saja. Betul tidak? Kita dapat dibuat terbuai dengan cerita mengenai Winston Smith, yang benar-benar tampak nyata.

Tahun 1949, seorang yang bernama pena George Orwell sudah memikirkan tentang teknologispy mutakhir, yang dinamakannya telescreen yang tidak hanya memiliki kegunaan sebagai televisi, tetapi juga sebagai kamera! Teleskrin ini merupakan alat propaganda yang efektif.

Sungguh mengerikan kekuatan imajinasi manusia itu bukan? Seperti yang Albert Einstein katakan tentang imajinasi, yang kalau tidak salah adalah sebagai berikut: “The true sign of intelligence is not knowledge but imagination.”

Imajinasi bisa membawa kita ke mana saja, dan yang benar-benar cerdas itu tidak hanya orang yang memiliki imajinasi saja, tetapi juga dapat melakukan tindakan untuk mewujudkannya.

Imajinasi George Orwell ini justru terlalu mengerikan untuk terwujud. Dia dengan bijaknya memberikan peringatan bagi orang-orang untuk tidak memikirkan diri sendiri, sehingga apa yang dia gambarkan sebagai “kondisi totalitarianisme” itu tidak akan terjadi. George Orwell ternyata seorang yang pesimis. Ia terkesan menganggap semua manusia itu seperti apa yang digambarkannya.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapa sih yang dapat memprediksikan masa depan—terlepas kita percaya atau tidak kepada dukun, cenayang, dan paranormal—itu? Selain fiksi, banyak juga karya non-fiksi yang memprediksikan masa depan seperti “the History of the Last Man”-nya Francis Fukuyama yang menyebalkan, “The Clash of Civilization”-nya Samuel P. Huntington yang pesimis dan mengerikan, “the Four Scenarios for the Future”-nya Balaam & Vesseth yang perlu menjadi bahan pemikiran, “Tragedy of the Common”-nya Gareth Hardin yang absurd, dan sebagainya.

Ini beberapa fakta[2] yang bisa dijadikan acuan:

1948 : Berlin Barat, Jerman, diblokade oleh Uni Sovet. Amerika mengirimkan pesawatnya untuk membantu masyarakat Berlin yang terkurung.
1984 : Tembok Berlin, yang dibangun pada 1961 untuk mencegah orang-orang Jerman Timur berpindah ke Barat, masih berdiri.
Sekarang ini : Reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin, awal 1990.

1948-1949 : Mao Tse Tung yang memerangi Chiang Kai Sek serta pasukan nasionalis-nya, berhasil mengusir mereka ke Taiwan di tahun 1949, dan di China kemudian didirikan rezim komunis totalitarian.
1984 : Terjadi Revolusi kebudayaan di China (The Great Proletarian Cultural Revolution) pada tahun 1960an. Namun sejak 1970-an China menjadi lebih terbuka terhadap negara-negara Barat dan mengadakan hubungan kerjasama perdagangan serta upaya reformasi di bidang demokrasi serta ekonomi, ditandai dengan berkunjungnya Presiden Nixon di tahun 1972.
Sekarang ini : Pada tahun 1989, terjadi tragedi Tiananmen, di mana para pelajar dan mahasiswa menginginkan adanya perbaikan kondisi ekonomi yang korup serta pemberian hak-hak warga sipil. Kemudian China telah menjadi negara komunis yang ternyata paling mendukung liberalisasi perdagangan.

1948-1949 : Pada bulan September 1949, Presiden Harry S. Truman, menyatakan bahwa Rusia telah mengembangkan senjata pemusnah masal, seperti nuklir.
1984 : Setelah Perang Dunia ke-2 berakhir, Perang Dingin justru berlangsung. Yaitu ketika berlakunya arms race antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, serta perang ideologi antara ke-duanya.
Sekarang ini : Pada 8 Desember 1987, Ronald Reagan dan Mikhail Gorbachev menandatangani perjanjian untuk membongkar misil nuklir milik kedua negara. Tahun 1991, Uni Soviet pecah. Dan Amerika Serikat menjadi the lonely and the only superpower in the world setelah itu.

1949 : Terdapat satu juta televisi yang terpasang di rumah-rumah di AS, dan hanya terdapat 24 buah stasion tv pada saat itu.
1984 : Di 85 juta rumah tangga di AS memiliki tv. Mulai diperkenalkan adanya tv kabel yang hampir mencapai sebagian besar rumah-rumah tersebut. Komputer juga mulai banyak dipergunakan.
Sekarang ini : 98 persen rumah tangga di AS memiliki satu buah tv berwarna, 28 persen memiliki tiga atau lebih tv, dan 65 persen memiliki akses ke tv kabel. Di tahun 1995, lebih dari 3 juta jiwa memiliki komputer pribadi. Internet mulai sering dipergunakan.

Pesan moral dari semuanya ternyata sederhana: latar belakang sejarah, dan pengalaman adalah salah satu faktor yang ikut mempengaruhi perkembangan masa kini, serta masa depan. Namun, refleksi dari pengalaman itu lah yang membuat kita belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama kedua kalinya. Itu yang membuat manusia menjadi lebih tinggi derajatnya dibanding mahluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Betul?!

Buku ini direkomendasikan untuk para penggemar science fictions, historical versus “futuristic” literature, masalah-masalah hubungan internasional, serta teori konspirasi.

Oh iya, gara-gara terlalu memusingkan “prediksi-prediksi” Orwell yang tidak jadi kenyataan, jangan lupakan bahwa buku ini merupakan novel! Novel yang sebenarnya termasuk dalam kategori “biasa saja”. Namun karena kepiawaian Orwell dalam bercerita, kita seperti dibius dalam setiap kalimatnya yang sederhana dan kadang-kadang melupakan aturan tata bahasa yang baku (ataukah itu salah penerjemah-nya?).[3]
Yang pasti, buku ini sangat kontroversial. Disebut bagus ya, bagus. Disebut biasa saja juga tidak masalah. Menurut penerbit Bentang jika kita memandang suatu buku itu bagus atau tidak, akan tergantung dari siapa kita, dan apa yang kita harapkan dari suatu buku itu.

Mungkin bagi seseorang, dalam kapasitas sebagai seorang realist, pemerhati hubungan antar-bangsa atau hubungan internasional, akan mengatakan bahwa buku ini “bagus, keren banget atau HI banget”, karena menggambarkan realitas-realitas apa yang kaum realist bilang sebagai suatu hal yang wajar.
Namun bila dilihat dalam kapasitas kita sebagai seorang pencinta buku, tentu akan mengatakan bahwa buku ini “mencekam dan di luar batas kewajaran” (???).
Sebagai orang biasa dan awam mengenai dunia internasional pasca Perang Dingin, justru mungkin akan berkata bahwa buku ini “sangat membosankan, serta terlalu menyakitkan untuk dibaca!”

Akhir kata, Saya ingin mengucapkan: “akhirnya selesai juga bacanya! Thanks God!”

-nat-
note:
[1] Totalitarianisme adalah sistem serta ideologi pemerintahan di mana aktifitas sosial, politik, ekonomi, intelektual, kebudayaan, dan spiritual berada di bawah serta di atur oleh kebijakan tunggal pemimpin negara.
[2] Lihat, Novels for Students. Copyright by Gale Group, Inc. Reprinted by permission. Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved.
[3] Tata bahasa yang baku (bukan EYD aja, lho) pasti minimal memiliki struktur Subjek-dan-Predikat. Nah, di 1984, banyak kalimat yang cuma kata sifat doang. Atau keterangan tempat doang. Dll, dll. Btw, gw sok tau banget yah. Berlagak seperti pakar bahasa Yus Badudu yang terkenal itu.

source : http://bookzfreak.multiply.com/journal/item/80/1984-George-Orwell

 4.5 Rating: 4.5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel pada kategori yang sama

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...